Merubah pelayanan publik di Indonesia
|
Jatinangor,
April 2012
|
Oleh
:
Taufan Fahri Ramadhan
NPP : 22.1758
Kls : F 27
institut pemerintahan dalam negeri
|
KATA
PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah
ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas bagaimana merubah pelayanan
publik di Indonesia.
Makalah ini merupakan hasil kajian
dari topik sekaligus tugas yang diberikan Dosen pada mata kuliah Pelayanan
Publik, kemudian penulis tuangkan dalam bentuk makalah. Topik yang penulis kaji
adalah mengenai bagaimana merubah pelayanan publik di Indonesia
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan
hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa
teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga
bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita.
Jatinangor, 17 Oktober 2013
|
NPP. 22.1758
|
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................ 4
1.2. Permasalahan................................................................................... 7
1.3.
Tujuan ............................................................................................. 7
BAB
II KERANGKA TEORI
2.1. Pengertian pelayanan publik............................................................ 8
BAB
III PEMBAHASAN
3.1.
Buruknya Pelayanan Publik di Indonesia ....................................... 10
3.2.
Merubah Mindset Birokrasi ............................................................ 11
3.3. Mewirausahakan Birokrasi............................................................... 14
3.4. Merubah Kebijakan,
Organizational, dan Operasional.................... 16
BAB
IV KESIMPULAN
4.1.
Kesimpulan...................................................................................... 19
4.2.
Saran................................................................................................ 20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 21
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dewasa
ini penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kondisi yang belum
sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal tersebut bisa disebabkan oleh
ketidaksiapan untuk menanggapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi
luas serta dampak berbagai masalah pembangunan yang kompleks. Sementara itu,
tatanan baru masyarakat Indonesia dihadapkan pada harapan dan tantangan global
yang dipicu oleh kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, informasi, komunikasi,
transportasi, investasi, dan perdagangan. Kondisi dan perubahan cepat yang
diikuti pergeseran nilai tersebut perlu disikapi secara bijak melalui langkah
kegiatan yang terus-menerus dan berkesinambungan dalam berbagai aspek
pembangunan untuk membangun kepercayaan masyarakat guna mewujudkan tujuan
pembangunan nasional.
Tujuan nasional sebagaimana
ditegaskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, diwujudkan
melalui pelaksanaan penyelenggaraan negara yang berkedaulatan rakyat dan
demokratis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Pembangunan
nasional dilaksanakan dalam segala aspek kehidupan oleh penyelenggara negara
yaitu lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara bersama-sama segenap rakyat
Indonesia di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Pembangunan pada dasarnya merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk memperbaiki keterbelakangan dan ketertinggalan dalam semua bidang kehidupan menuju suatu keadaan yang lebih baik dari pada keadaan sebelumnya. Tujuan pembangunan nasional bangsa Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik material maupun spiritual. Pencapaian tujuan nasional di atas dilakukan dengan rangkaian upaya pembangunan berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang dilaksanakan bersama oleh masyarakat dan pemerintah menuju terwujudkan masyarakat adil dan makmur. Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang.
Pembangunan pada dasarnya merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk memperbaiki keterbelakangan dan ketertinggalan dalam semua bidang kehidupan menuju suatu keadaan yang lebih baik dari pada keadaan sebelumnya. Tujuan pembangunan nasional bangsa Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik material maupun spiritual. Pencapaian tujuan nasional di atas dilakukan dengan rangkaian upaya pembangunan berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang dilaksanakan bersama oleh masyarakat dan pemerintah menuju terwujudkan masyarakat adil dan makmur. Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang.
Keberhasilan pembangunan nasional
tidak lepas dari peran dan fungsi organisasi pemerintah yang mengemban
tugas-tugas pemerintah karena keberhasilan organisasi pemerintah dalam mencapai
tujuan sangat mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional. Dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik pada Bab I, Pasal 1 ayat 1 ditegaskan bahwa :
Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara
adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen
yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan
badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
Dalam rangka pencapaian tujuan
nasional dan tujuan pembangunan nasional tersebut diperlukan peran serta
Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi
masyarakat yang tugasnya adalah untuk melaksanakan pemerintahan dan tugas
pembangunan. Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, pada Bab II,
Pasal 3 ayat 1 ditegaskan bahwa :
Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil,
dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan.
Dengan demikian output dari
pelaksanaan tugas adalah berupa jasa pelayanan kepada masyarakat sehingga
pelayanan dikatakan efektif apabila aparat berhasil dalam melaksanakan
tugasnya. Dengan kata lain keberhasilan tugas pemerintah dalam pembangunan
nasional banyak tergantung pada kerja dan kemampuan pegawai negeri. Dari
penjelasan tersebut kita dapat melihat bahwa kedudukan dan peranan pegawai
negeri sangat penting dan menentukan keberhasilan pembangunan nasional.
Tugas pemerintah tidak hanya
mengatur saja, akan tetapi juga memberikan pelayanan kepada masyarakat. Fungsi
pelayanan selama ini belum mendapat perhatian dari para aparat birokrasi kita
sebab fungsi mengaturnya lebih dominan dibandingkan porsi pelayanannya.
Birokrasi pemerintah menempati posisi yang penting dalam pelaksanaan
pembangunan karena merupakan salah satu instrumen penting yang akan menopang
dan memperlancar usaha-usaha pembangunan. Berhasilnya pembangunan ini
memerlukan sistem dan aparatur pelaksana yang mampu tanggap dan kreatif serta pengelolaan
yang sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen modern dalam sikap perilaku dan
kemampuan teknisnya termasuk di dalamnya adalah memberikan pelayanan yang
efektif kepada masyarakat. Karena pelayanan yang efektif akan memperlancar
jalannya proses pembangunan. Birokrasi publik, pada dasarnya dihadirkan
untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Meskipun birokrasi publik
memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan organisasi bisnis, tetapi dalam
menjalankan misi, tujuan dan programnya menganut prinsip-prinsip efisiensi,
efektivitas, dan menempatkan masyarakat sebagai stakeholder yang harus dilayani secara optimal. Layanan publik,
merupakan hak masyarakat yang pada dasarnya mengan-dung prinsip: kesederhanaan,
kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggung-jawab, kelengkapan
sarana, dan prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan, kesopanan keramahan, dan
kenyamanan.
Keinginan mewujudkan layanan publik secara
optimal, tidak dapat dijalankan dengan baik karena birokrasi tidak cukup
responsif terhadap dinamika semakin menguatnya kemampuan masyarakat, baik
melalui mekanisme pasar maupun mekanisme organisasi sosial kemasyarakatan
memungkinkan birokrasi meredefinisikan kembali misinya. Pengalaman membuktikan
bahwa birokrasi yang dikendalikan dari jauh hanya menghasilkan penyeragaman
yang seringkali tidak cocok dengan situasi dan kondisi pada variabilitas antar
daerah. Banyak program pemerintah gagal memperoleh dukungan penuh dan
partisipasi masyarakat karena karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
daerah. Perbedaan kultural, geografis, dan ekonomis melahirkan kebutuhan yang
berbeda dan menuntut program-program pembangunan yang berbeda pula.
Pelayanan publik dikembangkan berdasarkan client yaitu mendudukan diri bahwa warga
negaralah yang membutuhkan pelayanan, membutuhkan bantuan birokrasi. Sehingga
pelayanan yang dikembangkan adalah pelayanan yang independen dan menciptakan
dependensi bagi warga negara dalam urusannya sebagai warga negara. Warga negara
atau masyarakat dianggap sebagaio follower
dalam setiap kebijakan, program atau pelayanan publik. Masyarakat dianggap
sebagai makhluk yang “ manut “, selalu menerima setiap aktivitas birokrasi,
padahal terkadang pemerintah melakukan aktivitas yang “ tidak selalu
menguntungkan bagi masyarakat “ ( Dwiyanto, 2006:59 ).
1.2.Permasalahan
Berdasarkan
penjelasan pada latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah “Bagaimana merubah pelayanan publik di Indonesia?”
1.3.Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui konsep dinamika pelayanan publik
di Indonesia.
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1.Pengertian Pelayanan Publik
1. Konsep, Definisi, Teori: 1 (satu)
Pelayanan publik
adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi
pemerintah pusat, di daerah dan lingkungan badan usaha milik negara atau daerah
dalam, barang atau jasa baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat
maupun dalam rangka pelaksanaan ketertiban-ketertiban. (Sumber: Robert, 1996, Pelayanan publik,
PT GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA, 30)
2. Konsep, Definisi, Teori: 2 (dua)
Pelayanan publik
adalah pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang
mempunyai kepentingan pada organisasi tersebut sesuai dengan aturan pokok dan
tata cara yang tekah ditetapakan.
(Sumber: Widodo Joko, 2001, Etika birokrasi dalam
pelayanan publik, CV CITRA MALANG, 131)
3. Konsep, Definisi, Teori: 3 (tiga)
Pelayanan publik
dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau
masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan
pokok dantata cara yang telah ditetapkan.
Kesimpulan : Dari
definisi diatas bahwa pelayanan publik adalah segala bentuk kegiatan pelayanan
umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat, di daerah dan lingkungan
badan usaha milik negara atau daerah dalam, dan melayani keperluan orang atau
masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi tersebut sesuai dengan
aturan pokok dan tata cara yang tekah ditetapakan.
Sesungguhnya yang menjadi produk dari organisasi
pemerintahan adalah pelayanan masyarakat (publik service). Pelayanan tersebut
diberikan untuk memenuhi hak masyarakat, baik itu merupakan layanan civil
maupun layanan publik. Artinya kegiatan pelayanan pada dasarnya menyangkut
pemenuhan suatu hak. Ia melekat pada setiap orang, baik secara pribadi maupun
berkelompok (organisasi), dan dilakukan secara universal.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Moenir (1998:41)
bahwa “hak atas pelayanan itu sifatnya sudah universal, berlaku terhadap siapa
saja yang berkepentingan atas hak itu, dan oleh organisasi apa pun juga yang
tugasnya menyelenggarakan pelayanan.” Tugas pemerintah adalah untuk melayani
dan mengatur masyarakat, menurut Thoha (1995:4) bahwa :Tugas pelayan lebih
menekankan kepada mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik,
memperisngkat waktu proses pelaksanaan urusan publik. Sedangkan tugas mengatur
lebih menekankan kepada kekuasan atau power yang melekat pada posisi jabatan
birokrasi.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Buruknya Pelayaan Publik di Indonesia
Sekarang ini masih banyak
masalah yang menimpa masyarakat mengenai pelayanan umum, seperti masalah
perijinan, pembuatan, perpanjangan surat-surat yang dibutuhkan masyarakat,
misalnya pembuatan KTP, Kartu Keluarga, dan surat-surat pengantar untuk diajukan
ke instansi yang lebih tinggi. Masalah timbul dari masyarakat sebagai konsumer
tidak merasa puas dengan pelayanan yang diberikan, dan beberapa faktor internal
pada kinerja pelayan publik pada kecamatan sebagai instansi tingkat
pemerintahan yang berwenang baik dalam masalah pelayanannya seperti berapa lama
pembuatan, kinerja pelayannya ataupun mengenai biaya.
Penyelenggaraan pelayanan
publik oleh pemerintah yang
cenderung menganggap bahwa sebaik apapun dalam memberikan pelayanan pada
masyarakat, toh tidak akan merubah gaji dan pendapatan mereka. Profesionalisme
bukan menjadi tujuan utama mereka. Mereka mau melayani hanya karena tugas dari
pimpinan instansi atau karena sebagai pegawai pemerintah, bukan karena
tuntutan profesionalisme kerja. Ini yang membuat keberpihakannya kepada
masyarakat menjadi sangat rendah. Pelayan publik akan bersikap ramah kepada
mesyarakat pengguna layanan kalau ada “sesuatu” yang memberikan keuntungan atau
melatar belakanginya, seperti hubungan pertemanan, status sosial ekonomi warga
dan lain-lain. Bagi masyarakat pengguna layanan yang kebetulan mempunyai
kenalan, sebagai kerabat, saudara, orang kaya yang dapat memberikan “ucapan
terima kasih”, serta mereka yang mempunyai status sosial terpandang di
masyarakat, biasanya akan memperoleh “perlakuan khusus” dari para pelayan
publik. Dalam situasi demikian, maka budaya antri menjadi hilang, sebaliknya
budaya pelayanan “jalan tol”menjadi pilihan stategis dan menjadi hal yang biasa
dilakukan. Ini hanya mungkin dilakukan oleh masyarakat yang memiliki kelebihan
uang, status, dan sejenisnya yang tidak dimiliki oleh masyarakat biasa.
Birokrasi menjadi
elemen penting yang menghubungkan ekonomi dengan masyarakat. Terdapat beberpa faktor yang mempengaruhi
birokrasi dalam pengambilan keputusan :
a.
Faktor budaya;
b.
Faktor individu;
c.
Faktor organisasi dan manajemen;
d.
Faktor politik.
Kendala infrastruktur
organisasi pemerintahan yang
belum mendukung pola pelayanan prima yang diidolakan. Hal ini terbukti dengan
belum terbangunnya kaidah-kaidah
atau prosedur-prosedur baku pelayanan yang memihak publik serta standar
kualitas minimal yang semestinya diketahui publik selaku konsumennya di samping
rincian tugas-tugas organisasi pelayanan publik secara komplit. Standard
Operating Procedure (SOP) pada masing-masing service provider belum
diidentifikasi dan disusun sehingga tujuan pelayanan masih menjadi pertanyaan
besar. Akibatnya, pada satu pihak penyedia pelayanan dapat bertindak semaunya
tanpa merasa bersalah (guilty feeling) kepada masyarakat.
Buruknya pelayanan publik ini dibuktikan dengan menurunya kualitas
pendidikan, sekolah-sekolah. Sistem pemeliharaan kesehatan tidak terkendali.
Pengadilan dan rumah tahanan begitu sesak, sehingga banyak narapidana menjadi
bebas. Tradisi pejabat dan pegawai birokrasi
selama ini seringkali berlaku kasar dan angkuh ketika melayani warga masyarakat
yang datang keistansinya untuk
memerlukan selember surat keterangan ataupun yang berhubungan dengan pelayanan
publik .
Perubahan dalam konsep pelaksanaan pelayanan publik di Indonesia harus
segera dilakukan dengan baik dan optimal. Mengingat program pembangunan
dipastikan mengalami banyak hambatan jika pelayanan publik masih buruk.
Sebaliknya, jika pelayanan public dilaksanakan secara baik, maka program
pembangunan akan berjalan lancar. Pada tataran ini, reformasi birokrasi menjadi
salah satu prasyarat penting keberhasilan pembangunan.
3.2. Merubah Mindset Birokrasi
Ir. H. Joko Widodo (lahir di Surakarta, 21 Juni 1961; umur 52 tahun),
atau yang lebih akrab dipanggil Jokowi, adalah Gubernur DKI Jakarta terhitung sejak tanggal 15 Oktober 2012. Ia
merupakan gubernur ke-17 yang memimpin ibu kota Indonesia. Sebelumnya, Jokowi
menjabat Wali Kota Surakarta (Solo)
selama dua periode, 2005-2010 dan 2010-2015, namun baru 2 tahun menjalani
periode keduanya, ia mendapat amanat dari warga Jakarta untuk memimpin Ibukota
Negara
Saat menjabat Walikota
Solo Jokowi yang dikenal dengan reformasi birokrasinya, pada suatu hari
rapat bersama para lurah dan ahli Information technology (IT). Walikota
bertanya kepada ahli IT; ” bisakah KTP selesai dalam satu hari?” Para Ahli IT
menjawab;’ tentu bisa pak’. Kemudian Sang Walikota bertanya kepada para
lurahnya, ‘bisakah anda melayani KTP masyarakat dalam waktu satu hari?’.
Seorang lurah menjawab, “wah gak bisa pak wali, minimal itu tiga hari sesuai
petunjuk teknis pembuatan KTP, KTP itu harus dimulai dari adanya
tandatangan RT lalu ke RW lalu ke Kelurahan, kecamatan dan kemudian terakhir
catatan sipil”. Mendengar jawaban sang lurah, pak walikota pun segera betindak.
Ide ahli IT dilaksanankan, dan beberapa beberapa bulan kemudian sang lurah pun
dipecat.
Logika walikota dan pakar IT yang ingin
memberi pelayanan cepat dan mudah tadi adalah logika New Public Management
yang berorientasi kepada pelayanan terbaik kepada konsumen (baca: masyarakat).
Sedangkan logika sang lurah adalah logika paradigma lama ala birokrasi weberian
yang melihat pelayanan publik dari kacamata prosedur dan aturan ketimbang
berorientasi kepada pelayanan yang baik kepada konsumen. Logika New Public
Management (NPM) inilah yang saat ini sangat gencar dikempanyekan oleh
para akademisi dan lembaga keuangan international termasuk di Indonesia.
Merubah watak pelayananan public atau reformasi birokrasi dari berwatak
birokratis ke NPM merupakan agenda besar dan wacana besar saat ini yang coba
diterapkan di Indonesia.
Secara maknawi birokrasi berarti sebuah
organisasi yang mempunyai ciri hirarki, aturan yang tetap, hubungan yang
impersonal, ketataatan yang ketat kepada prosedur-prosedur dan adanya
spesialisas yang berdasarkan fungsi (Bevir, 2009). Definisi birokrasi diataslah
yang kemudian kita kenal dengan birokrasi tradisional ala Weberian.
Kritik terhadap model birokrasi Weberian
pertama datang dari para ekonom, dalam pandangan para ekonom, Para ekonom
melihat birokrasi ala weberian yang bersifat monopolitik dalam pelayanan public
senderung tidak effisien akibat tidak adanya persaingan. Bagi mereka iklim
kompitisi persaingan seperti swasta sangat penting, sehingga muncul motivasi
untuk berprestasi. Karena monopoli inilah seorang birokrat “memberi senyum atau
bermuka masam” terhadap warga yang dilayani tidak mempunyai pengaruh terhadap
“penghasilan” negara dan “penghasilan” pribadi. Kritik kedua datang dari pakar
manajemen. Menurut mereka, birokrasi yang berorietasi taat aturan dan atasan
cenderung mengabaikan effisiensi dan effektivitas pelyanan public. Hal ini
berbeda dengan manajemen sector swasta yang berorietasi keuntungan sehingga
efiisiensi dan effektifitas adalah kata kunci untuk sebuah pelayanan public.
Para pakar manajemen kemudian merekomedasikan untuk mengaplikasikan model
manajemen sector swasta ke pelayanan public. Istilah untuk model manajemen
seperti inilah yang kemudian dikenal dengan new public management.
Model birokrasi New Public management
lahir sebagai jawaban dari permasalahan akut di birokrasi pemerintah.
Ada lima kriteria new
public managemenent yang diringkas oleh Professor Richard Mulgan, dosen
penulis di Australian National University (2011);
Pertama, adalah marketisasi, dalam prinsip ini
pelayanan public diserahkan ke swasta baik lewat tender, kontrak dan
privatisasi.
Kedua, Manajemen hasil
dengan menerapkan strategi dan target, hasil yang berbasis pada keuangan dan
adanya kejelasan tetang penilaian pelayanan public dengan indikator
keberhasilan dan target yang ingin dicapai.
Ketiga, adanya focus kepada konsumen
ketimbang focus kepada ketaatan akan aturan dan atasan. Konsumen bisa
menyatakan keberatan akan layanan public, adanya survey pendapat konsumen dan
lain sebagainya adalah contoh penerapan prisnsip ini. Hal seperti ini tidak
pernah kita temukan pada birokrasi pemerintahan, namun akan mudah kita temukan
di organisasi swasta seperti Bank dan lain sebagainya.
Perinsip yang keempat adalah adanya
otonomi bagi manajer. Manajer menggantikan istlilah birokrat. let the
managers manage. Prinsip ini berbeda dengan prinsip birokrasi klasik
yang menjadikan birokrat hanya sebagai “mesin” imlementator dari pelayanan dan
kebijakan public. Seorang PNS dituntut untuk berprilaku sebagai manajer, punya
inisiatif dan kreatif, bukan hanya menunggu petunjuk dari atasan. Atasan pun
hanya memberi arahan global tentang tujuan dan target dan tidak mengatur secara
rinci petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang mematikan kreatifitas
bawahan,
Prinsip kelima adalah disaggregation
atau pemisahan, maksudnya birokrasi harus dikontrol dengan lembaga yang
terpisah agar tidak terjadi penyimpangan. Di dalam birokasi weberian, yang
mengawasi birokarsi adalah lembaga internal organisasi itu sendiri atau masih
state institution.
Birokrat di Indonesia seharusnya kenal
dengan paradigma baru pelayanan public.. Para Kepala daerah mesti mempunya
visi untuk memperbaiki pelayanan publik di Indonesia dan merubah mindset
para birokratnya. Hal ini merupakan salah satu cara untuk merubah pelayanan
public di Indonesia ke arah yang lebih baik.
3.3. Mewirausahakan Birokrasi
Menurut Lembaga Administrasi Negara (2003 : 27) pada dasarnya terdapat dua paradigma dalam pelayanan publik pertama adalah paradigma pelayanan publik yang berorientasi pada pengelola pelayanan. Paradigma ini lebih bersifat birokratis, direktif, dan hanya memperhatikan / mengutamakan kepentingan pimpinan / organisasi pelayanan itu sendiri. Paradigma ini banyak mendapat keluhan dari masyarakat pengguna layanan karena kurang memperhatikan kepentingan masyarakat pengguna layanannya. Masyarakat sebagai pengguna layanan tidak memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus tunduk kepada pengelola pelayanan. Seharusnya pelayanan publik dikelola dengan paradigma yang bersifat supportif dimana lebih memfokuskan diri pada kepentingan masyarakat pengguna layanan, pengelola harus mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.
Paradigma kedua merupakan paradigma yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu paradigma pelayanan publik yang terfokus / berorientasi pada kepuasan pengguna layanan (customer driven government).
Customer driven government merupakan prinsip ke-enam dari sepuluh prinsip mewirausahakan birokrasi yang diajukan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992 : 191). Prinsip ini menguraikan bahwa pemerintahan yang berorientasi pelanggan adalah pemerintah yang memenuhi kebutuhan pengguna layanannya, bukan birokrasi.
Kebanyakan organisasi pemerintah bahkan tidak tahu siapa pengguna layanan mereka. Mengapa demikian? Menurut Osborne dan Gaebler, logikanya sederhana, karena sebagian besar badan pemerintah tidak memperoleh dananya dari pengguna layanan (secara langsung). Disamping itu sebagian pelanggan mereka bersifat captive, pelanggan ‘paksa’, singkatnya para pengguna layanan mempunyai sedikit alternatif terhadap pelayanan yang disediakan oleh pemerintah. Oleh karena itu birokrasi sering mengabaikan para pengguna layanannya. Birokrat menganggap bahwa pelanggan mereka adalah eksekutif dan legislatif, karena dari sanalah mereka memperoleh dana secara langsung. Para pejabat birokrat yang diangkat, pada gilirannya, lebih berorientasi pada pejabat yang mengangkatnya atau kelompok kepentingan / partai. Jadi, sementara bisnis bersungguh-sungguh menyenangkan pelanggan, badan pemerintah mati-matian untuk menyenangkan kelompok kepentingan.
Budiono (2003 : 3) mendefinisikan pemerintah yang berorientasi pelanggan (customer driven government) yaitu pemerintah yang meletakkan pengguna layanan sebagai hal yang paling depan. Oleh karena itu, kepuasan pengguna layanan ditempatkan sebagai sasaran penyampaian tujuan, dengan mendengarkan suara pengguna layanan. Dengan memperhatikan kebutuhan dasar pengguna layanan, pemerintah lebih responsif dan inovatif.
Lembaga Administrasi Negara (2003 : 27) memberikan ciri-ciri dari paradigma pelayanan customer driven government, antara lain sebagai berikut : (1) lebih fokus pada kegiatan fasilitasi untuk berkembangnya iklim yang kondusif bagi kegiatan pelayanan masyarakat; (2) lebih fokus pada pemberdayaan masyarakat; (3) fokus pada pencapaian visi, misi, tujuan, sasaran dan hasil (outcomes); (4) fokus pada kebutuhan dan keinginan masyarakat; (5) pada hal tertentu, organisasi pemberi layanan juga berperan untuk memperoleh pendapatan dari pelayanan yang dilaksanakan; (6) fokus pada antisipasi terhadap permasalahan pelayanan; dan (7) lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan.
Berdasarkan uraian di atas, maka paradigma customer driven government adalah paradigma pelayanan publik yang menempatkan pengguna layanan sebagai hal yang terdepan dan merupakan fokus terpenting dari penyelenggaraan suatu pelayanan atau lebih populer dengan istilah “putting the customer on the driver seat”.
3.4. Merubah Kebijakan, Organizational, dan Operasional
Pemerintah selaku penyedian pelayanaan
birokrasi pemerintahan kepada masyarakat secara menyeluruh, baik pada
level kebijakan, organizational, serta operasional harus sesuai dengan poin-poin mendasar
dalam Undang-undang No. 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik.
Pada level kebijakan, dalam
bentuk peraturan atau kebijakan yang mengatur seluruh aspek sehingga menciptakan berbagai peraturan
atau kebijakan yang mendorong birokrasi yang berorientasi pada pemenuhan hal-hak
sipil warga negara dalam mendapatkan pelayanan prima yang yang di dalamnya
menyangkut aspek kepastian hukum, batas waktu, prosedur, partisipasi,
pengaduan, dan gugatan. Contohnya adalah penyusunan Standar Prosedur Operasi
(SOP) pada seluruh instansi
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai organisasi yang pro
publik, penyempurnaan diarahkan untuk menghasilkan proses yang akuntabel dan
transparan, serta mempunyai kinerja yang cepat dan ringkas. Untuk itu, penyusun SOP yang rinci dan dapat
menggambarkan setiap jenis keluaran pekerjaan secara menyeluruh, melakukan
analisis dan evaluasi jabatan untuk memperoleh gambaran rinci mengenai tugas
yang dilakukan oleh setiap jabatan, serta melakukan analisis beban kerja untuk
dapat memperoleh informasi mengenai waktu dan jumlah pejabat yang dibutuhkan
untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Dengan adanya standar prosedur operasi
tersebut instasi pemerintah
dapat memberikan layanan prima kepada publik, yaitu layanan yang terukur dan
pasti dalam hal waktu penyelesaian, persyaratan administrasi yang harus
dipenuhi, dan biaya yang harus dikeluarkan.
Pada level organizational,
dapat dilakukan dalam bentuk perbaikan proses rekrutmen berbasis kompetensi,
pendidikan dan latihan yang sensitif terhadap kepentingan masyarakat,
penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim dan Standar Kinerja
Instansi Pemerintah. Memulai proses organization
reinventing dalam bentuk penataan organisasi. Penataan organisasi tersebut
meliputi pemisahan, penggabungan, dan penajaman fungsi, serta modernisasi.
Penajaman tugas dan fungsi dilakukan di segala level pemerintahan baik dari pusat sampai ke level pemerintahan pada
level terbawah. Disamping itu, dilakukan pemisahan dan penajaman fungsi
organisasi yang diharapkan mampu menciptakan struktur organisasi yang
menghasilkan kebijakan berkualitas dan dapat memberikan pelayanan terbaik
kepada masyarakat.
Terakhir, pada level operasional,
dilakukan melalui perbaikan serta peningkatan kualitas pelayanan yang meliputi
dimensi tangibles, reliability,
responsiveness, assurance dan emphaty. Perbaikan pelayanan kepada masyarakat tersebut salah satunya
tercermin dalam adanya perubahan waktu yang diperlukan masyarakat untuk
mendapatkan layanan.
Selanjutnya, pelayanan
publik yang dilakukan pemerintah juga dilihat dari segi faktor-faktor
yang mempengaruhi birokrasi harus
lah dilakukan perubahan, diantaranya adalah faktor budaya, faktor
individu, faktor organisasi dan manajemen, serta faktor politik. Sehingga institusi pemerintahan dapat berjalan
sebagaimana mestinya sesuai dengan amanat UU No. 25 Tahun 2009.
Akan tetapi dalam pelaksanaan
penyelenggaraan pelayanan publik dilapangan walaupun telah berjalannya UU No.
25 Tahun 2009 masih banyak saja pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
pegawai atau pejabat dalam pelayanan publik. Oleh karenanya, seharusnya
pemerintah memiliki komitmen untuk melakukan penguatan lembaga KPK dan
Ombudsman yang merupakan salah satu indikator komitmen bangsa dalam penciptaan
pemerintahan yang melakukan
penyelenggaraan pelayanan publik yang sesuai dengan bersih dan bebas
dari KKN. Karena ternyata,
dalam kenyataannya system birokrasi kita masih memiliki banyak kelemahan.
beberapa kelemahan yang menonjol yaitu:
1.
Lemahnya kehendak pemerintah atau political will/government will
2.
Belum ada kesamaan persepsi dan pemahaman tentang visi, misi, tujuan dan
rencana tindak tidak jelas;
3. Belum ada
kesepakatan menerapkan SIN (single identification/identity number) tentang data
kepegawaian, asuransi kesehatan, taspen, pajak, tanah, imigrasi, bea-cukai, dan
yang terkait lainnya
4. Masih
banyak duplikasi, pertentangan, dan ketidakwajaran peraturan perundang-undangan
5. Kelemahan
dalam criminal justice system (sistem penanggulangan kejahatan); penanggulangan
kejahatan (criminal policy) belum efektif menggunakan media masa dan media
elektronika, kurangnya partisipasi masyarakat, sanksi terlalu ringan dan tidak
konsisten, dan criminal policy belum dituangkan secara jelas dalam bentuk
represif (criminal justice system), preventif (prevention without punishment),
dan pencegahan dini (detektif);
Berbagai upaya parsial telah dilakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik baik pemerintahan
pusat dan pemerintah daerah. Namun demikian karena sifatnya yang
parsial, perbaikan dan
perubahan penyelenggaraan pelayanan
publik masih terkesan berjalan sendiri-sendiri tanpa tujuan. Sehingga
masih dapat kita temukan over-regulasi, rendahnya kualitas pelayanan publik,
pertanggung jawaban dan akuntabilitas, profesionalisme dan responsiveness yang
disebabkan oleh buruknya mind set, culture set dan budaya kerja para birokrat.
Untuk mengatasi masalah tersebut perlu segera dilakukan penataan kelembagaan,
kepegawaian berbasis kinerja dengan reward and punishment, penyederhanaan ketatalaksanaan,
akuntabilitas kinerja pemerintah, peningkatan pelayanan publik, sistem
pengawasan nasional dan pengembangan budaya kerja aparatur negara baik di pusat
maupun di daerah yang dilakukan secara sistemik.
Adapun demikian, sangat disayangkan bahwa ternyata pelaksanaanya tidaklah
merata bahkan cenderung sendiri sendiri. Sebenarnya, penyelenggaraan pelayanan publik pleh pemerintah
dapat dilihat keefektivitasannya bila prinsip prinsip good government telah
tercapai termasuk public services pemerintah terhadap masyarakatnya. Untuk itu,
demi berlangsungnya penyelenggaraan
pelayanan publik seharusnya mulai diterapkan system perubahan pelayanan
publik bersama dalam birokrasi jaringan jaringan pemerintah.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas dan dengan memperhatikan kerangka teorinya, maka dapatlah
disimpulkan bahwa :
a. Pelayanan publik
dapat dirubah dan ditingkatkan menjadi “prima”, birokrasi ber-adaptasi dengan dinamika
perubahan lingkungan dan memahami kebutuhan masyarakat yang dilayani.
b. Capacity building yang tidak konsisten dan tidak
taat azas dari institusi pelayanan publik telah menjadi faktor dominan
bagi melemahnya kinerja birokrasi sehingga menjadi kehilangan gairah merespon
kepentingan masyarakat
c. Faktor-faktor eksternal birokrasi seperti : hukum,
adat-budaya, politik, sosial, dan ekonomi dan internal birokrasi seperti :
doktrin, kepemimpinan, lembaga, sumberdaya, dan struktur organisasi, secara
bersama-sama menjadi hambatan bagi upaya peningkatan derajat responsitas
birokrasi.
d. Model pelayanan publik yang modern sesuai dengan
dinamika perkembangan belum tersusun sebagai pilihan paradigma berbasis
metapora budaya lokal.
e. Derajat responsivitas elit birokrasi pemerintahan
belum optimal dalam implementasi, walaupun sudah dirumuskan dengan indahnya
dalam kebijakan dan strategi pembangunan.
Penyelenggaraan pelayanan
publik yang baik dan
demokratis mensyaratkan kinerja dan akuntabilitas aparatur yang makin
meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik merupakan kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan tatanan kehidupan
politik, kemasyarakatan, dan dunia usaha. Dalam peta tantangan nasional,
regional, dan internasional, aparatur negara dituntut untuk dapat mewujudkan
profesionalisme, kompetensi dan akuntabilitas. Pada era globalisasi, aparatur
negara harus siap dan mampu menghadapi perubahan yang sangat dinamis dan
tantangan persaingan dalam berbagai bidang. Saat ini masyarakat Indonesia
sedang memasuki era yang penuh tuntutan perubahan serta antusiasme akan
pengubahan. Ini merupakan sesuatu yang di Indonesia tidak dapat dibendung lagi.
Oleh karena itu, penyelenggaraan
pelayanan publik di tubuh
birokrasi indonesia harus terus dijalankan demi terciptanya pelayanan prima
bagi masyarakat.
4.2. Saran
Untuk memayungi penyelenggaraan pelayanan publik yang baik,
diupayakan penataan perundang-undangan, antara lain dengan menyelesaikan
rancangan undang-undang dan
melakukan revisi atau perubahan UU agar terjadinya keselaraan dan Standard
Operating Procedure (SOP) yang sesuai
dengan perkembangan jaman dan keterbutuhan masyarakat sebagi pengguna pelayan
publik. Dengan demikian, proses penyelenggaraan pelayanan publik dapat berjalan dengan baik dengan
adanya legalitas secara hukum dalam pelaksanaannya.
Untuk membangun bangsa
yang bermartabat, harus dilakukan bersama oleh pemerintah dan masyarakat dalam
menciptakan pemerintah yang lebih baik dari able
government ke better government
dan trust government. Selain itu,
diharapkan masyarakat dapat lebih partisipatif dalam pelaksanaan,
prinsip-prinsip good governance, pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan yang baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan dan
percepatan pemberantasan korupsi
disegala bidang pemerintahan baik pusat maupun daerah.
DAFTAR PUSTAKA
1.
http://id.wikipwdia.org/PelayananPublik/OmbudsmanRepublikIndonesia/WikipediabahasaIndonesia,
ensiklopediabebas.html
6.
Indihono,
Dwiyanto. (2006). Reformasi “ Birokrasi
Amplop” Mungkinkah ?. Yogyakarta. Penerbit Gaya Media
7.
Penjelasan
Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
8.
Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
9.
Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar