Minggu, 03 November 2013

Tugas Pelayanan Publik




Merubah pelayanan publik di Indonesia




Jatinangor, April 2012
Oleh :

 Taufan Fahri Ramadhan
                                                   NPP   : 22.1758
Kls     : F 27
institut pemerintahan dalam negeri





KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas bagaimana merubah pelayanan publik di Indonesia.
            Makalah ini merupakan hasil kajian dari topik sekaligus tugas yang diberikan Dosen pada mata kuliah Pelayanan Publik, kemudian penulis tuangkan dalam bentuk makalah. Topik yang penulis kaji adalah mengenai bagaimana merubah pelayanan publik di Indonesia
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita.

Jatinangor,  17 Oktober 2013


i
 
           Taufan Fahri Ramadhan
                    NPP. 22.1758


i
 

DAFTAR ISI


Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I        PENDAHULUAN
                   1.1. Latar Belakang ................................................................................ 4
                   1.2. Permasalahan................................................................................... 7
1.3. Tujuan ............................................................................................. 7
BAB II       KERANGKA TEORI
2.1. Pengertian pelayanan publik............................................................ 8
BAB III     PEMBAHASAN
3.1. Buruknya Pelayanan Publik di Indonesia ....................................... 10
3.2. Merubah Mindset Birokrasi ............................................................ 11
                   3.3. Mewirausahakan Birokrasi............................................................... 14
                   3.4. Merubah Kebijakan, Organizational, dan Operasional.................... 16

BAB IV     KESIMPULAN
                   4.1. Kesimpulan...................................................................................... 19
                   4.2. Saran................................................................................................ 20

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 21



ii
 
ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik masih dihadapkan pada kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal tersebut bisa disebabkan oleh ketidaksiapan untuk menanggapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi luas serta dampak berbagai masalah pembangunan yang kompleks. Sementara itu, tatanan baru masyarakat Indonesia dihadapkan pada harapan dan tantangan global yang dipicu oleh kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, informasi, komunikasi, transportasi, investasi, dan perdagangan. Kondisi dan perubahan cepat yang diikuti pergeseran nilai tersebut perlu disikapi secara bijak melalui langkah kegiatan yang terus-menerus dan berkesinambungan dalam berbagai aspek pembangunan untuk membangun kepercayaan masyarakat guna mewujudkan tujuan pembangunan nasional.
Tujuan nasional sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, diwujudkan melalui pelaksanaan penyelenggaraan negara yang berkedaulatan rakyat dan demokratis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam segala aspek kehidupan oleh penyelenggara negara yaitu lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara bersama-sama segenap rakyat Indonesia di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Pembangunan pada dasarnya merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk memperbaiki keterbelakangan dan ketertinggalan dalam semua bidang kehidupan menuju suatu keadaan yang lebih baik dari pada keadaan sebelumnya. Tujuan pembangunan nasional bangsa Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik material maupun spiritual. Pencapaian tujuan nasional di atas dilakukan dengan rangkaian upaya pembangunan berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang dilaksanakan bersama oleh masyarakat dan pemerintah menuju terwujudkan masyarakat adil dan makmur.  Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing serta menciptakan suasana yang menunjang.
Keberhasilan pembangunan nasional tidak lepas dari peran dan fungsi organisasi pemerintah yang mengemban tugas-tugas pemerintah karena keberhasilan organisasi pemerintah dalam mencapai tujuan sangat mendukung tercapainya tujuan pembangunan nasional. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik pada Bab I, Pasal 1 ayat 1 ditegaskan bahwa :


Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.


Dalam rangka pencapaian tujuan nasional dan tujuan pembangunan nasional tersebut diperlukan peran serta Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang tugasnya adalah untuk melaksanakan pemerintahan dan tugas pembangunan. Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, pada Bab II, Pasal 3 ayat 1 ditegaskan bahwa :
Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan.
Dengan demikian output dari pelaksanaan tugas adalah berupa jasa pelayanan kepada masyarakat sehingga pelayanan dikatakan efektif apabila aparat berhasil dalam melaksanakan tugasnya. Dengan kata lain keberhasilan tugas pemerintah dalam pembangunan nasional banyak tergantung pada kerja dan kemampuan pegawai negeri. Dari penjelasan tersebut kita dapat melihat bahwa kedudukan dan peranan pegawai negeri sangat penting dan menentukan keberhasilan pembangunan nasional.
Tugas pemerintah tidak hanya mengatur saja, akan tetapi juga memberikan pelayanan kepada masyarakat. Fungsi pelayanan selama ini belum mendapat perhatian dari para aparat birokrasi kita sebab fungsi mengaturnya lebih dominan dibandingkan porsi pelayanannya. Birokrasi pemerintah menempati posisi yang penting dalam pelaksanaan pembangunan karena merupakan salah satu instrumen penting yang akan menopang dan memperlancar usaha-usaha pembangunan. Berhasilnya pembangunan ini memerlukan sistem dan aparatur pelaksana yang mampu tanggap dan kreatif serta pengelolaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen modern dalam sikap perilaku dan kemampuan teknisnya termasuk di dalamnya adalah memberikan pelayanan yang efektif kepada masyarakat. Karena pelayanan yang efektif akan memperlancar jalannya proses pembangunan.       Birokrasi publik, pada dasarnya dihadirkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Meskipun birokrasi publik memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan organisasi bisnis, tetapi dalam menjalankan misi, tujuan dan programnya menganut prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas, dan menempatkan masyarakat sebagai stakeholder yang harus dilayani secara optimal. Layanan publik, merupakan hak masyarakat yang pada dasarnya mengan-dung prinsip: kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggung-jawab, kelengkapan sarana, dan prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan, kesopanan keramahan, dan kenyamanan.
Keinginan mewujudkan layanan publik secara optimal, tidak dapat dijalankan dengan baik karena birokrasi tidak cukup responsif terhadap dinamika semakin menguatnya kemampuan masyarakat, baik melalui mekanisme pasar maupun mekanisme organisasi sosial kemasyarakatan memungkinkan birokrasi meredefinisikan kembali misinya. Pengalaman membuktikan bahwa birokrasi yang dikendalikan dari jauh hanya menghasilkan penyeragaman yang seringkali tidak cocok dengan situasi dan kondisi pada variabilitas antar daerah. Banyak program pemerintah gagal memperoleh dukungan penuh dan partisipasi masyarakat karena karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi daerah. Perbedaan kultural, geografis, dan ekonomis melahirkan kebutuhan yang berbeda dan menuntut program-program pembangunan yang berbeda pula.
Pelayanan publik dikembangkan berdasarkan client yaitu mendudukan diri bahwa warga negaralah yang membutuhkan pelayanan, membutuhkan bantuan birokrasi. Sehingga pelayanan yang dikembangkan adalah pelayanan yang independen dan menciptakan dependensi bagi warga negara dalam urusannya sebagai warga negara. Warga negara atau masyarakat dianggap sebagaio follower dalam setiap kebijakan, program atau pelayanan publik. Masyarakat dianggap sebagai makhluk yang “ manut “, selalu menerima setiap aktivitas birokrasi, padahal terkadang pemerintah melakukan aktivitas yang “ tidak selalu menguntungkan bagi masyarakat “ ( Dwiyanto, 2006:59 ).



1.2.Permasalahan
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah “Bagaimana merubah pelayanan publik di Indonesia?”

1.3.Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui konsep dinamika pelayanan publik di Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

KERANGKA TEORI

 

2.1.Pengertian Pelayanan Publik


1.      Konsep, Definisi, Teori: 1 (satu)
Pelayanan publik adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat, di daerah dan lingkungan badan usaha milik negara atau daerah dalam, barang atau jasa baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketertiban-ketertiban. (Sumber: Robert, 1996, Pelayanan publik, PT GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA, 30)
2.      Konsep, Definisi, Teori: 2 (dua)
Pelayanan publik adalah pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi tersebut sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang tekah ditetapakan.
(Sumber: Widodo Joko, 2001, Etika birokrasi dalam pelayanan publik, CV CITRA MALANG, 131)
3.      Konsep, Definisi, Teori: 3 (tiga)
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dantata cara yang telah ditetapkan.

Kesimpulan : Dari definisi diatas bahwa pelayanan publik adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat, di daerah dan lingkungan badan usaha milik negara atau daerah dalam, dan melayani keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi tersebut sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang tekah ditetapakan.

 

Sesungguhnya yang menjadi produk dari organisasi pemerintahan adalah pelayanan masyarakat (publik service). Pelayanan tersebut diberikan untuk memenuhi hak masyarakat, baik itu merupakan layanan civil maupun layanan publik. Artinya kegiatan pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak. Ia melekat pada setiap orang, baik secara pribadi maupun berkelompok (organisasi), dan dilakukan secara universal.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Moenir (1998:41) bahwa “hak atas pelayanan itu sifatnya sudah universal, berlaku terhadap siapa saja yang berkepentingan atas hak itu, dan oleh organisasi apa pun juga yang tugasnya menyelenggarakan pelayanan.” Tugas pemerintah adalah untuk melayani dan mengatur masyarakat, menurut Thoha (1995:4) bahwa :Tugas pelayan lebih menekankan kepada mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, memperisngkat waktu proses pelaksanaan urusan publik. Sedangkan tugas mengatur lebih menekankan kepada kekuasan atau power yang melekat pada posisi jabatan birokrasi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB  III

PEMBAHASAN

 

3.1. Buruknya Pelayaan Publik di Indonesia

Sekarang ini masih banyak masalah yang menimpa masyarakat mengenai pelayanan umum, seperti masalah perijinan, pembuatan, perpanjangan surat-surat yang dibutuhkan masyarakat, misalnya pembuatan KTP, Kartu Keluarga, dan surat-surat pengantar untuk diajukan ke instansi yang lebih tinggi. Masalah timbul dari masyarakat sebagai konsumer tidak merasa puas dengan pelayanan yang diberikan, dan beberapa faktor internal pada kinerja pelayan publik pada kecamatan sebagai instansi tingkat pemerintahan yang berwenang baik dalam masalah pelayanannya seperti berapa lama pembuatan, kinerja pelayannya ataupun mengenai biaya.
Penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah yang cenderung menganggap bahwa sebaik apapun dalam memberikan pelayanan pada masyarakat, toh tidak akan merubah gaji dan pendapatan mereka. Profesionalisme bukan menjadi tujuan utama mereka. Mereka mau melayani hanya karena tugas dari pimpinan instansi  atau karena sebagai pegawai pemerintah, bukan karena tuntutan profesionalisme kerja. Ini yang membuat keberpihakannya kepada masyarakat menjadi sangat rendah. Pelayan publik akan bersikap ramah kepada mesyarakat pengguna layanan kalau ada “sesuatu” yang memberikan keuntungan atau melatar belakanginya, seperti hubungan pertemanan, status sosial ekonomi warga dan lain-lain. Bagi masyarakat pengguna layanan yang kebetulan mempunyai kenalan, sebagai kerabat, saudara, orang kaya yang dapat memberikan “ucapan terima kasih”, serta mereka yang mempunyai status sosial terpandang di masyarakat, biasanya akan memperoleh “perlakuan khusus” dari para pelayan publik. Dalam situasi demikian, maka budaya antri menjadi hilang, sebaliknya budaya pelayanan “jalan tol”menjadi pilihan stategis dan menjadi hal yang biasa dilakukan. Ini hanya mungkin dilakukan oleh masyarakat yang memiliki kelebihan uang, status, dan sejenisnya yang tidak dimiliki oleh masyarakat biasa.
Birokrasi menjadi elemen penting yang menghubungkan ekonomi dengan masyarakat. Terdapat beberpa faktor yang mempengaruhi birokrasi dalam pengambilan keputusan :
a.       Faktor budaya;
b.      Faktor individu;
c.       Faktor organisasi dan manajemen;
d.      Faktor politik.
Kendala infrastruktur organisasi pemerintahan yang belum mendukung pola pelayanan prima yang diidolakan. Hal ini terbukti dengan belum terbangunnya  kaidah-kaidah atau prosedur-prosedur baku pelayanan yang memihak publik serta standar kualitas minimal yang semestinya diketahui publik selaku konsumennya di samping rincian tugas-tugas organisasi pelayanan publik secara komplit. Standard Operating Procedure (SOP) pada masing-masing service provider belum diidentifikasi dan disusun sehingga tujuan pelayanan masih menjadi pertanyaan besar. Akibatnya, pada satu pihak penyedia pelayanan dapat bertindak semaunya tanpa merasa bersalah (guilty feeling) kepada masyarakat.
Buruknya pelayanan publik ini dibuktikan dengan menurunya kualitas pendidikan, sekolah-sekolah. Sistem pemeliharaan kesehatan tidak terkendali. Pengadilan dan rumah tahanan begitu sesak, sehingga banyak narapidana menjadi bebas. Tradisi pejabat dan pegawai birokrasi selama ini seringkali berlaku kasar dan angkuh ketika melayani warga masyarakat yang datang keistansinya untuk memerlukan selember surat keterangan ataupun yang berhubungan dengan pelayanan publik .
Perubahan dalam konsep pelaksanaan pelayanan publik di Indonesia harus segera dilakukan dengan baik dan optimal. Mengingat program pembangunan dipastikan mengalami banyak hambatan jika pelayanan publik masih buruk. Sebaliknya, jika pelayanan public dilaksanakan secara baik, maka program pembangunan akan berjalan lancar. Pada tataran ini, reformasi birokrasi menjadi salah satu prasyarat penting keberhasilan pembangunan.

 

3.2. Merubah Mindset Birokrasi

Ir. H.  Joko Widodo (lahir di Surakarta, 21 Juni 1961; umur 52 tahun), atau yang lebih akrab dipanggil Jokowi, adalah Gubernur DKI Jakarta  terhitung sejak tanggal 15 Oktober 2012. Ia merupakan gubernur ke-17 yang memimpin ibu kota Indonesia. Sebelumnya, Jokowi menjabat Wali Kota  Surakarta (Solo) selama dua periode, 2005-2010 dan 2010-2015, namun baru 2 tahun menjalani periode keduanya, ia mendapat amanat dari warga Jakarta untuk memimpin Ibukota Negara
Saat menjabat Walikota Solo Jokowi yang dikenal dengan reformasi birokrasinya,  pada suatu hari rapat bersama para lurah dan ahli Information technology (IT). Walikota bertanya kepada ahli IT; ” bisakah KTP selesai dalam satu hari?” Para Ahli IT menjawab;’ tentu bisa pak’. Kemudian Sang Walikota bertanya kepada para lurahnya, ‘bisakah anda melayani KTP masyarakat dalam waktu satu hari?’. Seorang lurah menjawab, “wah gak bisa pak wali, minimal itu tiga hari sesuai petunjuk teknis pembuatan KTP, KTP itu harus dimulai dari adanya  tandatangan RT lalu ke RW lalu ke Kelurahan, kecamatan dan kemudian terakhir catatan sipil”. Mendengar jawaban sang lurah, pak walikota pun segera betindak. Ide ahli IT dilaksanankan, dan beberapa beberapa bulan kemudian sang lurah pun dipecat.
Logika walikota dan pakar IT yang ingin memberi pelayanan cepat dan mudah tadi adalah logika New Public Management yang berorientasi kepada pelayanan terbaik kepada konsumen (baca: masyarakat). Sedangkan logika sang lurah adalah logika paradigma lama ala birokrasi weberian yang melihat pelayanan publik dari kacamata prosedur dan aturan ketimbang berorientasi kepada pelayanan yang baik kepada konsumen. Logika New Public Management (NPM) inilah yang saat ini sangat gencar dikempanyekan oleh para akademisi dan lembaga keuangan  international termasuk di Indonesia. Merubah watak pelayananan public atau reformasi birokrasi dari berwatak birokratis ke NPM merupakan agenda besar dan wacana besar saat ini yang coba diterapkan di Indonesia.
Secara maknawi birokrasi berarti sebuah organisasi yang mempunyai ciri hirarki, aturan yang tetap, hubungan yang impersonal, ketataatan yang ketat kepada prosedur-prosedur dan adanya spesialisas yang berdasarkan fungsi (Bevir, 2009). Definisi birokrasi diataslah yang kemudian kita kenal dengan birokrasi tradisional ala Weberian.
Kritik terhadap model birokrasi Weberian pertama datang dari para ekonom, dalam pandangan para ekonom,  Para ekonom melihat birokrasi ala weberian yang bersifat monopolitik dalam pelayanan public senderung tidak effisien akibat tidak adanya persaingan. Bagi mereka iklim kompitisi persaingan seperti swasta sangat penting, sehingga muncul motivasi untuk berprestasi. Karena monopoli inilah seorang birokrat “memberi senyum atau bermuka masam” terhadap warga yang dilayani tidak mempunyai pengaruh terhadap “penghasilan” negara dan “penghasilan” pribadi. Kritik kedua datang dari pakar manajemen. Menurut mereka, birokrasi yang berorietasi taat aturan dan atasan cenderung mengabaikan effisiensi dan effektivitas pelyanan public. Hal ini berbeda dengan manajemen sector swasta yang berorietasi keuntungan sehingga efiisiensi dan effektifitas adalah kata kunci untuk sebuah pelayanan public. Para pakar manajemen kemudian merekomedasikan untuk mengaplikasikan model manajemen sector swasta ke pelayanan public. Istilah untuk model manajemen seperti inilah yang kemudian dikenal dengan new public management.
Model birokrasi New Public management lahir sebagai jawaban dari permasalahan akut di birokrasi pemerintah.
Ada lima kriteria new public managemenent yang diringkas oleh Professor Richard Mulgan, dosen penulis di Australian National University (2011);
 Pertama, adalah marketisasi, dalam prinsip ini pelayanan public diserahkan ke swasta baik lewat tender, kontrak dan privatisasi.
Kedua, Manajemen hasil dengan menerapkan strategi dan target, hasil yang berbasis pada keuangan dan adanya kejelasan tetang penilaian pelayanan public dengan indikator keberhasilan dan target yang ingin dicapai.
Ketiga, adanya focus kepada konsumen ketimbang focus kepada ketaatan akan aturan dan atasan. Konsumen bisa menyatakan keberatan akan layanan public, adanya survey pendapat konsumen dan lain sebagainya adalah contoh penerapan prisnsip ini. Hal seperti ini tidak pernah kita temukan pada birokrasi pemerintahan, namun akan mudah kita temukan di organisasi swasta seperti Bank dan lain sebagainya.
Perinsip yang keempat adalah adanya otonomi bagi manajer. Manajer menggantikan istlilah birokrat. let the managers manage. Prinsip ini  berbeda dengan prinsip birokrasi klasik yang menjadikan birokrat hanya sebagai “mesin” imlementator dari pelayanan dan kebijakan public. Seorang PNS dituntut untuk berprilaku sebagai manajer, punya inisiatif dan kreatif, bukan hanya menunggu petunjuk dari atasan. Atasan pun hanya memberi arahan global tentang tujuan dan target dan tidak mengatur secara rinci petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang mematikan kreatifitas bawahan,
Prinsip kelima adalah disaggregation atau pemisahan, maksudnya birokrasi harus dikontrol dengan lembaga yang terpisah agar tidak terjadi penyimpangan. Di dalam birokasi weberian, yang mengawasi birokarsi adalah lembaga internal organisasi itu sendiri atau masih state institution.
Birokrat di Indonesia seharusnya kenal dengan paradigma baru pelayanan public.. Para  Kepala daerah mesti mempunya visi untuk memperbaiki pelayanan publik di Indonesia dan merubah mindset para birokratnya. Hal ini merupakan salah satu cara untuk merubah pelayanan public di Indonesia ke arah yang lebih baik.

3.3. Mewirausahakan Birokrasi

Menurut Lembaga Administrasi Negara (2003 : 27) pada dasarnya terdapat dua paradigma dalam pelayanan publik  pertama adalah paradigma pelayanan publik yang berorientasi pada pengelola pelayanan. Paradigma ini lebih bersifat birokratis, direktif, dan hanya memperhatikan / mengutamakan kepentingan pimpinan / organisasi pelayanan itu sendiri. Paradigma ini banyak mendapat keluhan dari masyarakat pengguna layanan karena kurang memperhatikan kepentingan masyarakat pengguna layanannya. Masyarakat sebagai pengguna layanan tidak memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus tunduk kepada pengelola pelayanan. Seharusnya pelayanan publik dikelola dengan paradigma yang bersifat supportif dimana lebih memfokuskan diri pada kepentingan masyarakat pengguna layanan, pengelola harus mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.

Paradigma kedua merupakan paradigma yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu paradigma pelayanan publik yang terfokus / berorientasi pada kepuasan pengguna layanan (customer driven government).

Customer driven government merupakan prinsip ke-enam dari sepuluh prinsip mewirausahakan birokrasi yang diajukan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992 : 191). Prinsip ini menguraikan bahwa pemerintahan yang berorientasi pelanggan adalah pemerintah yang memenuhi kebutuhan pengguna layanannya, bukan birokrasi.

Kebanyakan organisasi pemerintah bahkan tidak tahu siapa pengguna layanan mereka. Mengapa demikian? Menurut Osborne dan Gaebler, logikanya sederhana, karena sebagian besar badan pemerintah tidak memperoleh dananya dari pengguna layanan (secara langsung).  Disamping itu sebagian pelanggan mereka bersifat captive, pelanggan ‘paksa’, singkatnya para pengguna layanan mempunyai sedikit alternatif terhadap pelayanan yang disediakan oleh pemerintah. Oleh karena itu birokrasi sering mengabaikan para pengguna layanannya. Birokrat menganggap bahwa pelanggan mereka adalah eksekutif dan legislatif, karena dari sanalah mereka memperoleh dana secara langsung. Para pejabat birokrat yang diangkat, pada gilirannya, lebih berorientasi pada pejabat yang mengangkatnya atau kelompok kepentingan / partai. Jadi, sementara bisnis bersungguh-sungguh menyenangkan pelanggan, badan pemerintah mati-matian untuk menyenangkan kelompok kepentingan.

Budiono (2003 : 3) mendefinisikan pemerintah yang berorientasi pelanggan (customer driven government) yaitu pemerintah yang meletakkan pengguna layanan sebagai hal yang paling depan. Oleh karena itu, kepuasan pengguna layanan ditempatkan sebagai sasaran penyampaian tujuan, dengan mendengarkan suara pengguna layanan. Dengan memperhatikan kebutuhan dasar pengguna layanan, pemerintah lebih responsif dan inovatif. 

Lembaga Administrasi Negara (2003 : 27) memberikan ciri-ciri dari paradigma pelayanan customer driven government, antara lain sebagai berikut : (1) lebih fokus pada kegiatan fasilitasi untuk berkembangnya iklim yang kondusif bagi kegiatan pelayanan masyarakat; (2) lebih fokus pada pemberdayaan masyarakat; (3) fokus pada pencapaian visi, misi, tujuan, sasaran dan hasil (outcomes); (4) fokus pada kebutuhan dan keinginan masyarakat; (5) pada hal tertentu, organisasi pemberi layanan juga berperan untuk memperoleh pendapatan dari pelayanan yang dilaksanakan; (6) fokus pada antisipasi terhadap permasalahan pelayanan; dan (7) lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan.

Berdasarkan uraian di atas, maka paradigma customer driven government adalah paradigma pelayanan publik yang menempatkan pengguna layanan sebagai hal yang terdepan dan merupakan fokus terpenting dari penyelenggaraan suatu pelayanan atau lebih populer dengan istilah “putting the customer on the driver seat”.  

 

3.4. Merubah Kebijakan, Organizational, dan Operasional

Pemerintah selaku penyedian pelayanaan birokrasi pemerintahan kepada masyarakat secara menyeluruh, baik pada level kebijakan, organizational, serta operasional harus sesuai dengan poin-poin mendasar dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Pada level kebijakan, dalam bentuk peraturan atau kebijakan yang mengatur seluruh aspek sehingga menciptakan berbagai peraturan atau kebijakan yang mendorong birokrasi yang berorientasi pada pemenuhan hal-hak sipil warga negara dalam mendapatkan pelayanan prima yang yang di dalamnya menyangkut aspek kepastian hukum, batas waktu, prosedur, partisipasi, pengaduan, dan gugatan. Contohnya adalah penyusunan Standar Prosedur Operasi (SOP) pada seluruh instansi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai organisasi yang pro publik, penyempurnaan diarahkan untuk menghasilkan proses yang akuntabel dan transparan, serta mempunyai kinerja yang cepat dan ringkas. Untuk itu, penyusun SOP yang rinci dan dapat menggambarkan setiap jenis keluaran pekerjaan secara menyeluruh, melakukan analisis dan evaluasi jabatan untuk memperoleh gambaran rinci mengenai tugas yang dilakukan oleh setiap jabatan, serta melakukan analisis beban kerja untuk dapat memperoleh informasi mengenai waktu dan jumlah pejabat yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Dengan adanya standar prosedur operasi tersebut instasi pemerintah dapat memberikan layanan prima kepada publik, yaitu layanan yang terukur dan pasti dalam hal waktu penyelesaian, persyaratan administrasi yang harus dipenuhi, dan biaya yang harus dikeluarkan.
Pada level organizational, dapat dilakukan dalam bentuk perbaikan proses rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan dan latihan yang sensitif terhadap kepentingan masyarakat, penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim dan Standar Kinerja Instansi Pemerintah. Memulai proses organization reinventing dalam bentuk penataan organisasi. Penataan organisasi tersebut meliputi pemisahan, penggabungan, dan penajaman fungsi, serta modernisasi. Penajaman tugas dan fungsi dilakukan di segala level pemerintahan baik dari pusat sampai ke level pemerintahan pada level terbawah. Disamping itu, dilakukan pemisahan dan penajaman fungsi organisasi yang diharapkan mampu menciptakan struktur organisasi yang menghasilkan kebijakan berkualitas dan dapat memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Terakhir, pada level operasional, dilakukan melalui perbaikan serta peningkatan kualitas pelayanan yang meliputi dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty. Perbaikan pelayanan kepada masyarakat tersebut salah satunya tercermin dalam adanya perubahan waktu yang diperlukan masyarakat untuk mendapatkan layanan.
Selanjutnya, pelayanan publik yang dilakukan pemerintah juga dilihat dari segi faktor-faktor yang mempengaruhi birokrasi harus lah dilakukan perubahan, diantaranya adalah faktor budaya, faktor individu, faktor organisasi dan manajemen, serta faktor politik. Sehingga institusi pemerintahan dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan amanat UU No. 25 Tahun 2009.
Akan tetapi dalam pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik dilapangan walaupun telah berjalannya UU No. 25 Tahun 2009 masih banyak saja pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai atau pejabat dalam pelayanan publik. Oleh karenanya, seharusnya pemerintah memiliki komitmen untuk melakukan penguatan lembaga KPK dan Ombudsman yang merupakan salah satu indikator komitmen bangsa dalam penciptaan pemerintahan yang melakukan penyelenggaraan pelayanan publik yang sesuai dengan bersih dan bebas dari KKN. Karena ternyata, dalam kenyataannya system birokrasi kita masih memiliki banyak kelemahan. beberapa kelemahan yang menonjol yaitu:
1.      Lemahnya kehendak pemerintah atau political will/government will
2.      Belum ada kesamaan persepsi dan pemahaman tentang visi, misi, tujuan dan   rencana tindak tidak jelas;
3.   Belum ada kesepakatan menerapkan SIN (single identification/identity number) tentang data kepegawaian, asuransi kesehatan, taspen, pajak, tanah, imigrasi, bea-cukai, dan yang terkait lainnya
4.     Masih banyak duplikasi, pertentangan, dan ketidakwajaran peraturan perundang-undangan
5.    Kelemahan dalam criminal justice system (sistem penanggulangan kejahatan); penanggulangan kejahatan (criminal policy) belum efektif menggunakan media masa dan media elektronika, kurangnya partisipasi masyarakat, sanksi terlalu ringan dan tidak konsisten, dan criminal policy belum dituangkan secara jelas dalam bentuk represif (criminal justice system), preventif (prevention without punishment), dan pencegahan dini (detektif);
Berbagai upaya parsial telah dilakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik baik pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Namun demikian karena sifatnya yang parsial, perbaikan dan perubahan penyelenggaraan pelayanan publik masih terkesan berjalan sendiri-sendiri tanpa tujuan. Sehingga masih dapat kita temukan over-regulasi, rendahnya kualitas pelayanan publik, pertanggung jawaban dan akuntabilitas, profesionalisme dan responsiveness yang disebabkan oleh buruknya mind set, culture set dan budaya kerja para birokrat. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu segera dilakukan penataan kelembagaan, kepegawaian berbasis kinerja dengan reward and punishment, penyederhanaan ketatalaksanaan, akuntabilitas kinerja pemerintah, peningkatan pelayanan publik, sistem pengawasan nasional dan pengembangan budaya kerja aparatur negara baik di pusat maupun di daerah yang dilakukan secara sistemik.
Adapun demikian, sangat disayangkan bahwa ternyata pelaksanaanya tidaklah merata bahkan cenderung sendiri sendiri. Sebenarnya, penyelenggaraan pelayanan publik pleh pemerintah dapat dilihat keefektivitasannya bila prinsip prinsip good government telah tercapai termasuk public services pemerintah terhadap masyarakatnya. Untuk itu, demi berlangsungnya penyelenggaraan pelayanan publik seharusnya mulai diterapkan system perubahan pelayanan publik bersama dalam birokrasi jaringan jaringan pemerintah.


BAB IV
KESIMPULAN


4.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dan dengan memperhatikan kerangka teorinya, maka dapatlah disimpulkan bahwa :
a.       Pelayanan publik dapat dirubah dan ditingkatkan menjadi “prima”, birokrasi ber-adaptasi dengan dinamika perubahan lingkungan dan memahami kebutuhan masyarakat yang dilayani.
b.      Capacity building yang tidak konsisten dan tidak taat azas dari institusi pelayanan publik telah menjadi faktor dominan bagi melemahnya kinerja birokrasi sehingga menjadi kehilangan gairah merespon kepentingan masyarakat
c.       Faktor-faktor eksternal birokrasi seperti : hukum, adat-budaya, politik, sosial, dan ekonomi dan internal birokrasi seperti : doktrin, kepemimpinan, lembaga, sumberdaya, dan struktur organisasi, secara bersama-sama menjadi hambatan bagi upaya peningkatan derajat responsitas birokrasi.
d.      Model pelayanan publik yang modern sesuai dengan dinamika perkembangan belum tersusun sebagai pilihan paradigma berbasis metapora budaya lokal.
e.       Derajat responsivitas elit birokrasi pemerintahan belum optimal dalam implementasi, walaupun sudah dirumuskan dengan indahnya dalam kebijakan dan strategi pembangunan.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang baik dan demokratis mensyaratkan kinerja dan akuntabilitas aparatur yang makin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik merupakan kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan tatanan kehidupan politik, kemasyarakatan, dan dunia usaha. Dalam peta tantangan nasional, regional, dan internasional, aparatur negara dituntut untuk dapat mewujudkan profesionalisme, kompetensi dan akuntabilitas. Pada era globalisasi, aparatur negara harus siap dan mampu menghadapi perubahan yang sangat dinamis dan tantangan persaingan dalam berbagai bidang. Saat ini masyarakat Indonesia sedang memasuki era yang penuh tuntutan perubahan serta antusiasme akan pengubahan. Ini merupakan sesuatu yang di Indonesia tidak dapat dibendung lagi. Oleh karena  itu, penyelenggaraan pelayanan publik di tubuh birokrasi indonesia harus terus dijalankan demi terciptanya pelayanan prima bagi masyarakat.


4.2. Saran
Untuk memayungi penyelenggaraan pelayanan publik yang baik, diupayakan penataan perundang-undangan, antara lain dengan menyelesaikan rancangan undang-undang dan melakukan revisi atau perubahan UU agar terjadinya keselaraan dan Standard Operating Procedure (SOP) yang sesuai dengan perkembangan jaman dan keterbutuhan masyarakat sebagi pengguna pelayan publik. Dengan demikian, proses penyelenggaraan pelayanan publik dapat berjalan dengan baik dengan adanya legalitas secara hukum dalam pelaksanaannya.
Untuk membangun bangsa yang bermartabat, harus dilakukan bersama oleh pemerintah dan masyarakat dalam menciptakan pemerintah yang lebih baik dari able government ke better government dan trust government. Selain itu, diharapkan masyarakat dapat lebih partisipatif dalam pelaksanaan, prinsip-prinsip good governance, pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan dan percepatan pemberantasan korupsi disegala bidang pemerintahan baik pusat maupun daerah.



DAFTAR PUSTAKA

6.      Indihono, Dwiyanto. (2006). Reformasi “ Birokrasi Amplop” Mungkinkah ?. Yogyakarta. Penerbit Gaya Media
7.      Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
8.      Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
9.      Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar